Ketika rakyat ingin memilih pemimpinnya sendiri

Nataniel

Nataniel

Photographer, content designer and trader

. . .

Ahok, sebuah gebrakan yang luar biasa di kancah perpolitikan Indonesia. Gebrakan ini tentu saja tidak terjadi begitu saja, tapi dimulai ketika pemilihan umum untuk presiden periode 2014-2015 ketika Jokowi akhirnya memutuskan utuk maju sebagai calon presiden.

Sebelumnya, Ahok dan Jokowi tidak terlalu memliki popularitas yang tinggi ketika mereka mencalonkan diri menjadi orang nomor satu dan dua di Jakarta. Entah bagaimana mereka bisa memenangi pertarugan melawan gubernur sebelumnya. Namun hal itu berubah ketika mereka berhasil membawa perubahan sedikit demi sedikit pada wajah Jakarta yang sudah di tahap memprihatinkan. Mereka menggebrak budaya-budaya kotor yang sudah mengakar di system pemerintahan, sampai memperbaiki tata kota. Dari situ masyarakat melihat bahwa masih ada orang yang benar-benar ingin memperbaiki Jakarta dengan cara yang lebih bersih.

Ketika Jokowi menjadi calon presiden, banyak dukungan yang dieroleh dari seluruh penjuru negri ini. Mereka melihat sosok yang tepat untuk membangun negri ini, bahakan ada yang mengatakan Jokowi adalah titisan ‘sesuatu’ setelah beberapa ratus tahun, dan kita harus memanfaatkan momen ini. Perjalanan Jokowi tentu saja tidak semulus popularitas yang diterimanya, banyak juga yang berusaha menghalangi, terutama politikus yang merasa terancam. Namun sekali lagi, dukungan masyarakat sangat mengambil peranan penting. Saya ingat ketika hari pemilihan, banyak anak muda yang sebelumnya apatis, termasuk saya, rela untuk mengurus surat ke kelurahan agar bisa ikut memilih di tempat perantauan.

Kembali ke Ahok. Momen yang terjadi beberapa tahun lalu itu kembali terjadi, bahkan lebih dahsyat. Bagi yang mengikuti perjalanan politik beberapa bulan terkahir ini pasti mengerti bagaimana ‘dramanya’ Indonesia ini. Puncaknya adalah ketika Ahok memutuskan untuk maju sebagai calon gubernur melalui jalur Independen. Jalur yang sangat riskan. Biasanya seorang politikus mengambil jalan ini ketika dia tidak memiliki kendaraan politik atau partai untuk maju sebagai calon. Namun beda dengan Ahok, partai yang ingin mengusungnya tentu saja banyak. Tapi itu keputusan beliau.

Alasannya? karena dia melihat dukungan yang diperolehnya sangat masif. Terutama dari orang-orang muda. Bahkan sempat terjadi adegan yang mengingatkan kita pada peristiwa “Penculikan Rengasdengklok”. Ahok ‘dicurit oleh teman ahok untuk menentukan jalur pilihannya untuk berkuasa lagi di Jakarta ini. Akhirnya dia memutuskan untuk lewat jalur independen.

Saat ini komunitas ‘teman ahok’ sedang berusaha untuk mengumpulkan 1 juta ktp dukungan untuk beliau. Saya sangat salut dengan mereka dan juga terharu. Mereka bergerak untuk menggerakkan masyarakat lain turut mendukung Ahok agar bisa tetap menjadi gubernur jakarta. Mereka bekerja tanpa dibayar, bahkan sebelumnya ahok ‘mengabaikan’ mereka. Mereka mencari dana melalui penjualan merchandise, sehingga mereka tidak perlu menerima ‘sumbangan’ dari pihak lain yang memiliki motif tertentu.

Selain mendapat dukungan tentu saja mereka juga mendapat rintangan, terutama dari Senayan dan DPR Jakarta. Mereka sepertinya memiliki motif yang licik ketika mengetahui ahok akan maju melalui jalur indpendedn. Mereka berusaha untuk mengubah syarat dukungan KTP yang sebelumnya hanya 6-10 persen menjadi 15-20 persen. wtf!!

Tidak hanya dari kalangan parlemen, Ahok juga mendapat ‘saingan’ dari beberapa politisi yang ingin maju menjadi calon gubernur. Sebagian dari mereka mungkin memiliki kompetensi yang memadai, tapi track record mereka tentu saja tidak seperti Ahok. Bahkan ada yang membuat kita masih geleng-geleng kepala, Ahmad Dhani. Akhir-akhir ini dia sering muncul di tv dan mengeluarkan statement-statement yang kontroversial berbau SARA. Bagaimana mau menjadi gubernur jika sikapnya seperti itu. Kita berharap semoga masyrakat yang memilih bisa memekai suara mereka dengan sebijak mungkin.

Selain itu, ada kesan motif para calon gubernur yang lain bukan untuk membangun Jakarta tapi untuk mengalahkan Ahok.

Isu Agama dan Ras pun menjadi senjata beberap orang yang hendak mendiskreditkan Ahok. Saya paling benci dengan orang yang mencampur adukkan politik dengan Agama dan Ras. Saya pikir semua agama memberikan pelajaran yang baik untuk umatnya, jadi kalau orang tersebut menjalankan keyakinannya sesuai ajaran agama, tentu saja hasilnya akan baik. Kecuali jika Agama tersebut memang mengajarkan hal yang salah. Jadi menurut saya, janganlah membawa-bawa Agama ke ranah politik. Biarkanlah menjadi urusan masing-masing orang. Janganlah memaksakan kehendak, jika anda ingin masuk surga dengan cara anda, biarlah orang lain juga ingin masuk surga dengan cara mereka sendiri.

Menurut saya, masyarakat sekarang mulai cerdas untuk mengutarakan pendapat mereka. Dengan adanya perkembangan teknologi. semua orang bisa mengakses informasi dengan bebas. Mereka bisa mengetahui sepak terjang para politikus di negri ini. Namun teknologi jua bisa menjadi senjata untuk menjatuhkan lawan politik dengan menyebarkan informasi yang salah. Disinilah kebijaksanaan diperlukan.

Terkadang ironis melihat timeline di facebook berisi hal-hal yang masih berbau SARA. Dan sedihnya lagi, informasi itu di-sahare oleh teman-teman ketik masih sekolah/kuliah. Seharusnya mereka lebih bisa memilah mana berita yang profokatif dan mana yang pantas untuk dishare.

People power memang merupakan kekuatan terbesar di dalam suatu negara. Semoga Indonesia bisa menjadi negara yang bisa mendengarkan aspirasi dari rakyatnya. Kita tunggu tahun depan, apakah Jakarta akan memiliki gubernur yang sesuai harapan mereka. Semoga demikian.

Leave a Reply

Archives