Sudah hampir dua bulan virus corona menjadi common atau main issue secara internasional. Semua bermula dari provinsi Wuhan di China sampai akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Sebenarnya gw cukup santai menghadapi issue ini, awalnya, mungkin karna I take life for granted. Kalau kena, ntar juga bisa sembuh kan. Yang rentan itu adalah orang tua dan orang -orang yang punya penyakit pemberat. Yang gw kuatikan justru orang tua gw, karna dengan umur mereka yang sudah diatas 60 tahun, tentu saja sangat mudah untuk terpapar. *Semoga tidak. SAat ini yang menderita paling parah setelah China adalah Italy. Di Italy, harapan hidup manusia lumayan besar, jadi penduduk dengan umur diatas 60 cukup banyak. Keadaan ini yang juga akhirnya membuat rasio mortality mereka tinggi.
Tapi, kemarin gw sempat membaca sebuah artikel yang isinya ‘Penderita corona virus yang sembuh akan mengalami kerusakan paru sekitar 30%‘. This one freaked me out!. Gw gak mau hidup dengan membatasi diri gw untuk melakukan kegiatan atau olahraga yang berat. Kalau paru-paru sudah damaged kan most likely gak bisa kerja yang berat-berat. Okay, I wont get sick!
Gw langsung ambil thermometer yang gw pakai kalau lagi hiking. Untung masih berfungsi.
Jadi dua hari, sabtu minggu gw diam di kost aja.
Dua hari terakhir itu memang masa-masa dimana penduduk Indonesia terutama di Jakarta panik. Jumlah pasien yang positif menderita corona naik secara signifikan. DI media social pada rame mengutuk pemerintah yang dinilai kurang becus mengurus issue ini.
Gw sih sependapat dengan mereka, pemerintah terlihat lamban, namun bukan berarti mereka tidak bekerja. Pada teriak-teriak lockdown. Oh my gosh, do you even know what lockdown does mean? Ini kayaknya pada latah melihat beberapa negara terutama negara eropa yang langsung memberlakukan lockdown. Jadilah penduduk +62 ini rasanya mau gaya-gayaan mau lockdown. I understand that everybody is panic. But, lets follow what our President said, dont be panic.
Guys, we can afford lockdown with our current resource. Ya mungkin itu adalah pilihan yang terakhir jika kasusnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Biaya untuk lockdown itu sangat mahal. Kalau negara Eropa bisa, karena negara mereka kecil. Regulasi mereka jelas untuk menghadapi kejaadaan seperti ini. Indonesia bagaimana? Jumlah penduduk jakarta aja jauh lebih besar dari Swedia dan Denmark. Sarana prasarana? masih jauh dari cukup. Terus budaya kita yang masih sering mengabaikan peraturan. Locakdown itu berarti kita tidak boleh kemana-mana, semua akan dipantau oleh polisi. Melanggar artinya harus dihukum. Jadi saran Presiden untuk membatasi ruang gerak menurut saya sudah tepat, social distancing.
Parahnya, banyak influencer-influencer yang ikut teriak-teriak lokdan lokdon. Marusnya mereka memberikan sugesti positive ke follower2 mereka. Ada bagusnya juga sih , masyarakat pada peduli, tapi kita masih harus banyak belajar.
Hari minggu gw gk ke gereja. Awalnya mau ikut misa online tapi kelewat mulu , dan juga rasanya gimana gitu, misa tapi gak di gereja. Doesnt feel right.
Gw seharian nonton Naruto. Hahha. Walaupun koneksi internet tidak stabil.
Malamnya gw akhirnya ke Grand Indonesia, foodhall. Gw membeli kebutuhan beberapa minggu kedepan jika situasi memaksa gw untuk tidak keluar rumah. Di foodhal barang-barang masih tersedia, belum ada aksi panic buying.